“Alhamdulillah lebaran kali ini bisa bareng”, “Ya alhamdulilah”, sahut yang lain. Itulah
penggalan kalimat yang saya dengar dari obrolan masyarakat seusai melaksanakan sholat Ied kemarin pagi.
Yah, “lebaraan bareng” memang menjadi sesuatu yang langkah, terutama sejak
reformasi bergulir 1998 yang lalu.
Masyarakat selalu merindukannya, seolah hanya seperti mimpi, yang
terkadang sulit untuk diwujudkan.
Timbul pertanyaan dan harapan mayoritas muslim Indonesia, “Mungkinkah
kebersamaan ini bisa diwujudkan di masa-masa yang akan datang?” Menurut saya jawabnya
ada dua kemungkinan, bisa tidak mungkin dan bisa sangat mungkin.
Jawaban tidak mungkin, apabila keadaan dibiarkan seperti
saat ini,dimana masing-masing ormas Islam diberi kebebasan yang
sebebas-bebasnya menentukan 1 Ramadhan dan 1 Syawal, dan menyerukan kepada
masing-masing anggotanya untuk mengikutinya “ulil amri” versi ormas tersebut,
sementara pemerintah selaku ulil amri yang beneran seolah tidak berdaya. Sidang isbat menentukan awal Ramadhan dan 1
Syawal seolah hanya menjadi “proyek” rutin kemenag, yang isunya menghamburkan
dana sampai milyaran rupiah, yang tentang hal ini telah dibantah beberapa kali
oleh Surya Darma Ali. Sementara keputusan hasil sidang isbat yang biasanya disepakati secara
bulat oleh berbagai ormas islam yang hadir tersebut, tak mampu “memaksa” ormas lain yang jauh-jauh hari, bahkan
untuk beberapa tahun kedepan sudah
menentukan secara hisab awal puasa Ramadhan
dan 1 Syawal, untuk mematuhi hasil
sidang isbat tersebut. Yah, sepanjang masing-masing pihak ngotot mempertahankan
metodenya, yang satu pakai metode hisab
sementara yang lainnya pakai rukyatul hilal, memang sampai kapanpun tidak
pernah ada titik temu. Sampai kiamatpun kebersamaan yang menjadi dambaan
mayoritas muslim negeri ini hanyalah mimpi disiang bolong.
Jawaban sangat mungkin,apabila ada kemauan yang kuat dari
pemimpin-pemimpin negeri ini, baik pemimpin formal terutama pemerintah dan DPR,
serta pemimpin dari ormas-ormas Islam. Kemauan tersebut tidak hanya sebatas
wacana saja, tetapi perlu diimplementasikan. Apa ya memang tidak bisa
dipersatukan? Apa sedemikian prinsipkah
sehingga pimpinan-pimpinan ormas mengabaikan kebersamaan, dan kentara sekali
mempertontonkan egonya seolah merekalah yang paling benar? Tidak bisakah pimpinan-pimpinan kita ini
duduk bersama untuk mencapai titik temu demi
kemaslahatan yang lebih luas? Sebagai rakyat kecil terus terang kami sangat
prihatin dan malu mempunyai pemimpin-pemimpin yang berpandangan terlalu picik, demi mempertahan eksistensi
ormasnya masing-masing. Sering timbul dibenak saya satu pertanyaan yang masih
mengganjal, kenapa ya tidak dibuat suatu aturan yang mengatur awal Ramadhan dan
1 Syawal, yang harus dipatuhi oleh seluruh muslim di negeri ini? Menurut saya
itu bisa karena pada dasarnya kita hidup berbangsa ini adalah karena rasa ingin
hidup bersama, atas kesepakatan. Nah,
kalau sudah mayoritas rakyatnya menginginkan kebersamaan tersebut, seharusnya
tidak ada halangan kalau keinginan tersebut dituangkan dalam satu aturan yang
mengikat. Yang namanya aturan sudah barang tentu harus dipatuhi dan ada sanksi
bagi yang melanggarnya. Kemenag selaku wakil pemerintah di bidang ini
seharusnya lebih aktif membuat terobosan demi bersatunya umat muslim negeri
ini, dan saya yakin itu bisa. Karena menurut saya bisa jadi itu hanya ulah dari
segelintir pemimpin ormas yang “keras kepala” , yang merasa hanya pendapat
merekalah yang paling benar, karena berdasarkan obrolan di akar rumput ormas
yang “ngeyel” tersebut, sebetulnya ada keinginan yang sangat kuat untuk kebersamaan umat ini.
Terus terang saya sangat prihatin dengan pernyataan pimpinan
salah satu ormas yang selalu kekeh mempertahankan metode hisabnya dan beberapa
tahun terakhir tidak hadir di sidang isbat kemenag , ketika di wawancarai media
televisi tentang sikapnya kenapa berbeda dalam penentuan awal Ramadhan dan 1
Syawal, dia mengatakan bahwa pemerintah tidak boleh turut campur dalam masalah
ini. Sungguh sangat disesalkan, pernyataan
seperti ini keluar dari mulut pimpinan
tertinggi ormas terbesar kedua di negeri ini. Dari penyataan ini kelihatan
jelas ormas ini memisahkan antara urusan agama dan urusan pemerintahan. Bisa
disebut sekulerkah yang seperti ini?
Wallahu’alam.
Memang negeri ini bukan negeri Islam. Tetapi pucuk pimpinan
negeri ini mayoritas Islam, yang memberi
kebebasan kita melaksanakan ajaran Islam. Salahkah kalau kita ber-ulil amri
kepada pemerintah yang demikian ini? Salahkah kalau kita mengikuti pemerintah sepanjang
bukan untuk melaksanakan kemungkaran? Saya yakin dari lubuk hati yang paling dalam mereka
mengamini pernyataan ini. Kita seharusnya malu dengan umat yang lain,
umat islam yang begitu besar tetapi hanya karena keangkuhan segelintir pucuk
pimpinan ormas, seolah menjadi terpecah-pecah.
Dan dihari yang fitri ini setelah satu bulan penuh kita di
gembleng di madrasah ramadhan , seharusnya kita bisa menghilangkan rasa angkuh
tersebut. Ego yang seolah kitalah yang paling benar, yang paling pintar,
sehingga menutup mata dan telinga kita
terhadap pendapat orang lain.
Mohon ma’af apabila
ada yang merasa tersinggung, mudah-mudahan mimpi akan kebersamaan berpuasa
Ramadhan dan berlebaran ini akan benar-benar menjadi kenyataan di kelak kemudian hari. Semoga
negeri ini diberikan pemimpin yang mempunyai jiwa besar yang lebih mengutamakan
kepentingan umat dari pada kepentingan golongannya. Semoga...
Akhirnya Selamat Idul Fitri 1434 H, Taqqobalallahu Minna
Waminkum Taqqobalallah Yaa Karim, Minal Aidzin Wal Faizin, Mohon Maaf Lahir dan
Batin.
Salam
Tidak ada komentar:
:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g:
:h: :i: :j: :k: :l: :m: :n: :o: :p:
Posting Komentar